Ayo gabung! Poskan karya anda ke salonsastra@yahoo.com atau salonsastra@gmail.com. Karya anda bisa berbentuk puisi, prosa atau renungan (maks. 1 hal quarto), dalam bentuk teks, audio maupun video. Kunjungi juga Obrolan Sastra Salonsastra di Facebook dan Salon Sastra Grup di Flickr.

10.21.2010

Struggling to Surrender

gambar dari http://www.picasaweb.google.com/
Perjalananku mencari terang dan kedamaian begitu panjang dan menyakitkan. Sejuk hatiku ketika kutatap wajah Maria dan dinginnya lantai gereja ketika aku kanak-kanak. Kasih....ya...aku merasakan kasih. Di depan altar kubersujud mencari Tuhan, kekasih mayaku yang jarang sekali aku rasakan kehadirannya. Namun aku tersandung. Kenyataan lain membawaku menjadi seorang muslim tanpa kusadari. Diriku bagai dicuci otak untuk menjalani semua ritual seakan aku ini sebuah robot mungil. Aku selalu bertanya, kenapa tuhan manusia berbeda-beda ? Ketakutan akan neraka dan kekecewaanku akan bayangan surga membawaku pada kegelisahan yang luar biasa. Aku  bagai bukan manusia karena aku tidak punya arti. Buku dan pengajian yang aku ikuti membuat aku semakin dihakimi dan merasa bagai seorang kafir. Aku kafir Tuhan....karena aku tidak bisa menerima seruan-Mu yang disampaikan oleh para ustad dan buku-buku itu!!

Mulailah aku berdialog dengan diriku sendiri bagai orang gila, bicara sendiri, menangis, tertawa, marah dan mengumpat. Aku bagai merpati gila tiada pegangan. Buku-buku merah mulai aku sentuh di bangku SMA. Pram, de Mello, Qibran, sampai suatu ketika aku temukan Ahmad Wahib. Hatiku lega berdialog dengan tulisan-tulisan itu. Wahib menyadarkanku kalau aku bukan gila. Dia adalah sahabat virtualku yang mampu membuat titik balik dalam kehidupanku. Dari de Mello aku pahami arti perjumpaan dan pertemuan, aku pahami arti cinta, ikhlas, munafik, dan pilihan hidup.

Lamunan demi lamunan semakin menggila setelah pertemuanku dengan Freud, Freire, Capra, Redfield, Hasan Raid, salman rusdi, Cabral, anand krishna. Dialog nuraniku dan otakku dengan karya mereka sempat membawaku menjadi seorang ateis untuk beberapa waktu. Aku bagai terbang bebas di atas awan-awan putih, aku menyatu dengan gumpalan-gumpalan yang mampu menenggelamkan kepak sayap putihku yang gelisah. Tapi akhirnya aku jatuh menjadi banyak kepribadian, aku tidak lagi utuh, aku merasa tidak punya identitas akan diri, aku hancur tanpa energi kasih di kalbuku. Aku patah seperti Sybill. Namun akhirnya sebuah cahaya yang membuatku tunduk untuk bersujud datang bagai mencabut ruhku, membawaku terbang dalam ketiadaan...kosong....ringan.....aku tahu...aku tahu...itu adalah cahaya kasih dari Sang Suci yang tak pernah dapat diindera makhluk namun hanya dapat dirasakan kehadirannya. Citranya ada di mana-mana. Ia tebarkan kasih melalui kebahagiaan dan juga derita untuk memanggil kekasih-kekasihnya yang lemah namun penuh kesombongan. Aku pasrah dan sujud dalam cahaya kasihnya. Aku percaya yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata untuk membuatnya menjadi rasional.

Jefrey Lang, titik balik kedua dalam kehidupanku membawaku untuk mengkaji lebih jauh. Dan cahaya indah itu menggerakkan tangan dan jiwaku untuk membuka Buchori. Dia membawaku berkenalan dengan rasul dan kitab yang telah sekian lama aku sanggah dan kadang aku umpat.

Aku pasrah dalam kesadaran. Kebodohan dan kelemahan akalku membawaku pada sebuah pengalaman rasa. Aku begitu lemah, jangkauan akalku begitu sempit untuk mengungkap rahasia dunia, aku hanya bisa merasakan dan berkata......hi cahaya......sirami aku dengan hawa sejukmu, temani aku dalam kegelisahan, sapalah aku untuk selalu terjaga dan doronglah aku untuk melakukan! Kau adalah Sang Aku yang selalu kurindukan.

Tuti, Bandung, 8 Januari 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar