Ayo gabung! Poskan karya anda ke salonsastra@yahoo.com atau salonsastra@gmail.com. Karya anda bisa berbentuk puisi, prosa atau renungan (maks. 1 hal quarto), dalam bentuk teks, audio maupun video. Kunjungi juga Obrolan Sastra Salonsastra di Facebook dan Salon Sastra Grup di Flickr.

11.15.2010

Pertanda Dari Merapi

sumber foto : http://www.desaindigital.com/


Iyungallah… iyungallah… iyungallah…
Perih kalbuku mendengar dan menyaksikan rintihan tubuh renta itu
Sekuat tenaga, tubuh rentanya berusaha mendorong pintu rumah kayu sangat sederhana di lereng Merapi
Sejumlah tangan perkasa memaksa tubuh ringkihnya dibopong dan ditempatkan di atas tandu
Deru ambulans membawanya ke tempat aman dari hawa panas dan debu vulkanik Merapi

sumber foto : http://www.wartanews.com/

Wajah penuh keriput, rambut memutih berantakan, kain panjang, naju lusuh dan ratapan itu tak mau hilang dari ingatanku
Entah mengapa, batin ini terisis perih
Air mata pun mengalir deras tanpa dapat kubendung

sumber foto : http://www.desaindigital.com/

Kurasakan dalamnya kepedihan itu
Waktu pun berputar mengingatkanku pada pengalaman masa kecil di lereng Merapi
Guntur, lahar panas, lahar dingin, hujan abu, hujan pasir dan kemudian disusul hujan es sesekali mengusik kesunyian lereng Merapi yang dingin
Kami tumbuh menyatu dengan alam, tanah, rumah-rumah dari anyaman bambu sederhana, lantai tanah yang menghitam dan secuil rejeki untuk menyambung hidup

Kala Merapi memuntahkan isi perut bumi, warga tetap tak beranjak menjauh
Merapi adalah bagian dari alam kehidupan kami
Dia tak hanya sekedar sebuah Arga ciptaan Hyang Widhi
Dia adalah kehidupan kami, yang kami anggap hidup, yang selalu memberikan pertanda alam tuk ingatkan manusia dari segala kepongahan
sumber foto : http://www.desaindigital.com/

Di lereng yang dingin ini, berpuluh tahun kami tersembunyi dari hingar bingar dunia
Berpuluh tahun kami berlindung dan merasakan kenyamanan di tengah kemiskinan yang sulit beranjak
Ternak, ladang, gubuk reyot tempat kami berteduh adalah satu-satunya milik kami yang kami cari dengan keringat yang tak pernah sempat kering
Ikatan batin kami dengan benda-benda itu begitu kuat
Mereka memang tak bisa bersuara tebarkan janji
Kediaman benda-benda itu justru tebarkan energi kasih
Dalam kebisuan, mereka mendengar rintihan kami dengan setia
Dikeluarkannya setitik demi setitik makanan untuk menyambung hidup kami
Seperti layaknya seorang ibu menyuapi anak terkasihnya yang baru belajar makan dan mengunyah
Hanya mereka yang setia mendengar ratapan dan doa tubuh-tubuh renta, perempuan-perempuan desa sederhana berbaju lusuh, laki-laki tegap namun kurus dan legam yang tak kenal lelah mengais bumi dan merawat ternak dengan hati
Suara-suara lemah itu hanya bisa mengharapkan benda-benda bisu untuk melindungi dan memberikan berkah
Hyang Widhi di atas pucuk Merapi sana pun turut memancarkan kasihnya dan membawa kami pada kedamaian dalam ketertindasan dan ketakberdayaan
Sesekali Ia pun murka melihat kepongahan yang terus berlangsung, dan muntahan Merapi adalah pertandaNya
sumber foto : http://www.desaindigital.com/


Nyawa kami adalah tumbal yang dikorbankan untuk mengingatkan dunia yang pongah
Tak jarang, kami relakan raga kami menjadi tumbal Merapi dan Hyang Widhi
Karena kami memahami bahwa kepasrahan pada kehendak alam adalah salah satu kunci kedamaian hidup
Karena kami pun tak bisa melepaskan benda-benda itu, walau sedetik
Tak ada seorangpun, bahkan penguasa yang seharusnya menjadi pengayom kehidupan kami, yang mengerti kelekatan kami pada benda-benda bisu dan Merapi
Ketika benda-benda bisu dan Merapi tiada, kami pun tiada
Mengapa?
Tak ada satupun yang akan mempedulikan keringat kami yang tak pernah kering untuk memperoleh benda-benda bisu yang melekat dan menghidupi setiap hembusan nafas dan aliran darah di sekujur tubuh kami
Ketika mereka sirna, sirna pula kehidupan kami karena tak ada lagi tersisa untuk esok
Puluhan tahun untuk membuatnya kembali
Dan jika pun kala itu tiba, tubuh-tubuh kami sudah renta, peluh kami sudah habis, dan tanah vulkanik kehitaman nan subur telah menanti untuk mendaur tubuh-tubuh ini kembali menyatu dengan tanah, tanpa merasakan nikmat cucuran keringat kala nafas masih berhembus kencang
sumber foto : http://www.desaindigital.com/

Iyungallah...iyungallah...iyungallah...
Ratapan itu adalah panggilan untuk biyung (ibu) dan Allah sang Hyang Widhi
Ratapan yang selalu muncul ketika kegetiran menimpa
Dan lereng Merapi adalah saksi ribuan ratapan serupa selama puluhan tahun
Dan ratapan itu kini terus membahana, meluas seantero Nusa Antara
Pertanda apakah ini?
Apakah tak ada lagi harapan di bumi indah ini?
Ataukah tak ada lagi nurani-nurani yang tumbuh untuk memberikan harapan?
Ataukah jiwa-jiwa murni penghuni bumi indah ini telah mati dan berganti dengan keserakahan?

Ah......raga yang renta......tenanglah......
Rintihanmu hanya segelintir yang mendengar
Rintihanmu hanya segelintir yang mengerti
Rintihanmu mungkin tak banyak berarti bagi mereka yang berkuasa, pintar dan seringkali berlumur ayat
Ketahuilah bahwa para penguasa pintar itu hanya berlumur ayat dan janji namun tak punya hati
Ah...apakah hanya para penguasa pintar?
Mungkin juga sebagian besar dari kita nek

sumber foto : http://www.carazone.net/

Mari berharap pada keajaiban nek
Berharap pada segelintir jiwa yang masih murni di bumi indah ini tuk membuat perubahan
Hingga tak ada lagi rintihanmu
Iyungallah....iyungallah...iyungallah....

Tuti, Pedati 20, 1 November 2010