Ayo gabung! Poskan karya anda ke salonsastra@yahoo.com atau salonsastra@gmail.com. Karya anda bisa berbentuk puisi, prosa atau renungan (maks. 1 hal quarto), dalam bentuk teks, audio maupun video. Kunjungi juga Obrolan Sastra Salonsastra di Facebook dan Salon Sastra Grup di Flickr.

11.17.2010

DI BATAS SUNYI

karya Moh Hamzah Arsa


sumber foto : http://www.picasaweb.google.com/

rumah-rumah tinggal bisik. suaramu parau.
abad-abad terus mencengkram
leher-leher doa. ketika sebuah busur panah dilesatkan
dadamu terbelah, burung-burung berhamburan
dari rimba rambutmu, lantas melintas
menyusun sarang baru di rimbun ranting dhuha

di batas sunyi, getar kecemasan jantungmu
semakin mengental. serupa tangkai waktu
yang rapuh, batu-batu sejarah mulai bergeser
ke ruang yang lebih terbuka. aku masih setia
memahat wajah purnama. pada bilangan zikir kemarau
kuurai daun tembakau menadah embun
bianglala. ladang-ladang tahajjud adalah rahimmu,
kelak janin kesadaran matahari mekar
menemukan ventilasi nafasnya

kau usap debu-debu yang beranak-pinak
membentuk gumpalan kekhawatiran laron-laron
serupa jalan-jalan menukik tajam. bercabang-cabang
jari-jemarimu lelah menghitung
kegamangan gemintang menyingkap awan
seperti kita sering lupa bahwa pada sepoi
kumandang azan, nafas kesabaran
rerumputan menegar

Mei, 2006

Bulan

karya Fitriani Um Salva

sumber gambar : http://www.google.co.id/


bulan kemilau menatap garang
tatkala malam melumat tubuhmu
aku pongah, kasih
kau tak tahu maknaku
(saat wangi bulan kau tumpahkan
di kudung pelangiku)

namun aku tak ragu dan mulai membaca sajakmu
memang, diamdiam kuasyiki sajak tubuhmu
(saat wangi bulan kau tumpahkan
di kudung pelangiku)

NEGERI AJI MUMPUNG

sumber foto dari internet.

Ini negeri adalah negeri aji mumpung. Mumpung dapet jabatan tinggi, yah kita tekan yang dibawah. Mumpung dapet kursi yang empuk, orang lain kita kasih kursi duri. Mumpung punya kepintaran tinggi, yang lain kita bodohi. Mumpung punya kolega banyak, kita kolusi, korupsi dan nepotisme. Mumpung duit berhamburan, kita beli apa saja, termasuk orang dan jabatan juga kita beli, demi menghasilkan duit yang lebih banyak lagi.
Dalam sebuah ulasan di sebuah televisi swasta disebutkan, “negeri ini adalah negeri yang belum sembuh dari luka penjajahan. Selama 65 tahun kemerdekaannya, negeri ini belum bisa menyembuhkan luka-lukanya.”
Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat betapa urakannya negeri ini. Betapa semrawutnya. Banjir dimana-mana. Macet dimana-mana. Dulu pulang jam 3 sore atau keluar jam 12 siang, jalanan terasa lenggang, tapi sekarang….. minta ampun. Dari pagi, siang, sore bahkan malam hari kemacetan terjadi dibanyak tempat. Apalagi kalau hujan, kemacetan semakin menjadi. Anda mungkin pernah terjebak banjir di daerah blok M dan senayan. Dan anda mendapati kota Jakarta seperti tsunami kecil yang siap menyeret kita dengan air, dengan jutaan mobil dan motor.
Kita bingung dan juga gamang. Hidup seperti sudah tidak ada etika. Perasaan tiap invidu tidak dijadikan pertimbangan dalam setiap perubahan kota. Seolah-olah kota ini tumbuh dan berkembangan di atas ketidaktahuan kenapa kota ini harus tumbuh dan berkembang. Sebab itulah banyak sekali manusia di kota ini yang sakit hati karena merasa tersisih, lantaran bingung, lantaran tidak memiliki kemampuan dan kesanggupan apa-apa untuk berpartisipasi dalam pembangunan kota dan akhirnya terlindas dan atau megap-megap menggapai nasib sambil ditelan arus zaman.
Ada apa gerangan di negeri aji mumpung ini? Ketika kita melihat ke atas, yang di atas tidak lagi mau melihat ke bawah, padahal saat mau ke atas mereka memakai yang di bawah sebagai tangga naik untuk ke atas. Kita merasa tertinggal, terlupakan dan tertindas. Hal itu lantaran sudah tidak ada kesimbangan antara yang di atas dan di bawah. Sementara yang di atas aji mumpung berbuat seenak mereka, yang di bawah megap-megap mempertahankan hidup. Kesenjangan ini memang terasa sulit untuk disatukan. Bukannya tidak bisa, tapi mungkin kita sebagai bangsa yang masih terluka ini, dan masih hidup semrawut ini, belum terbiasa dalam keteraturan dan keseimbangan. Atau mungkin kita sudah lupa untuk memperhatikan tradisi keteraturan dan kesimbangan warisan nenek moyang? Bahwa hidup butuh keteraturan dan kesimbangan. Karena itu, wajar juga kiranya jika banyak bencana besar yang sulit kita hadapi dan menelan banyak korban, sebab alam pun telah kita rusak keteraturan dan keseimbangannya.