Ayo gabung! Poskan karya anda ke salonsastra@yahoo.com atau salonsastra@gmail.com. Karya anda bisa berbentuk puisi, prosa atau renungan (maks. 1 hal quarto), dalam bentuk teks, audio maupun video. Kunjungi juga Obrolan Sastra Salonsastra di Facebook dan Salon Sastra Grup di Flickr.

11.17.2010

NEGERI AJI MUMPUNG

sumber foto dari internet.

Ini negeri adalah negeri aji mumpung. Mumpung dapet jabatan tinggi, yah kita tekan yang dibawah. Mumpung dapet kursi yang empuk, orang lain kita kasih kursi duri. Mumpung punya kepintaran tinggi, yang lain kita bodohi. Mumpung punya kolega banyak, kita kolusi, korupsi dan nepotisme. Mumpung duit berhamburan, kita beli apa saja, termasuk orang dan jabatan juga kita beli, demi menghasilkan duit yang lebih banyak lagi.
Dalam sebuah ulasan di sebuah televisi swasta disebutkan, “negeri ini adalah negeri yang belum sembuh dari luka penjajahan. Selama 65 tahun kemerdekaannya, negeri ini belum bisa menyembuhkan luka-lukanya.”
Dalam kehidupan sehari-hari kita melihat betapa urakannya negeri ini. Betapa semrawutnya. Banjir dimana-mana. Macet dimana-mana. Dulu pulang jam 3 sore atau keluar jam 12 siang, jalanan terasa lenggang, tapi sekarang….. minta ampun. Dari pagi, siang, sore bahkan malam hari kemacetan terjadi dibanyak tempat. Apalagi kalau hujan, kemacetan semakin menjadi. Anda mungkin pernah terjebak banjir di daerah blok M dan senayan. Dan anda mendapati kota Jakarta seperti tsunami kecil yang siap menyeret kita dengan air, dengan jutaan mobil dan motor.
Kita bingung dan juga gamang. Hidup seperti sudah tidak ada etika. Perasaan tiap invidu tidak dijadikan pertimbangan dalam setiap perubahan kota. Seolah-olah kota ini tumbuh dan berkembangan di atas ketidaktahuan kenapa kota ini harus tumbuh dan berkembang. Sebab itulah banyak sekali manusia di kota ini yang sakit hati karena merasa tersisih, lantaran bingung, lantaran tidak memiliki kemampuan dan kesanggupan apa-apa untuk berpartisipasi dalam pembangunan kota dan akhirnya terlindas dan atau megap-megap menggapai nasib sambil ditelan arus zaman.
Ada apa gerangan di negeri aji mumpung ini? Ketika kita melihat ke atas, yang di atas tidak lagi mau melihat ke bawah, padahal saat mau ke atas mereka memakai yang di bawah sebagai tangga naik untuk ke atas. Kita merasa tertinggal, terlupakan dan tertindas. Hal itu lantaran sudah tidak ada kesimbangan antara yang di atas dan di bawah. Sementara yang di atas aji mumpung berbuat seenak mereka, yang di bawah megap-megap mempertahankan hidup. Kesenjangan ini memang terasa sulit untuk disatukan. Bukannya tidak bisa, tapi mungkin kita sebagai bangsa yang masih terluka ini, dan masih hidup semrawut ini, belum terbiasa dalam keteraturan dan keseimbangan. Atau mungkin kita sudah lupa untuk memperhatikan tradisi keteraturan dan kesimbangan warisan nenek moyang? Bahwa hidup butuh keteraturan dan kesimbangan. Karena itu, wajar juga kiranya jika banyak bencana besar yang sulit kita hadapi dan menelan banyak korban, sebab alam pun telah kita rusak keteraturan dan keseimbangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar