Ayo gabung! Poskan karya anda ke salonsastra@yahoo.com atau salonsastra@gmail.com. Karya anda bisa berbentuk puisi, prosa atau renungan (maks. 1 hal quarto), dalam bentuk teks, audio maupun video. Kunjungi juga Obrolan Sastra Salonsastra di Facebook dan Salon Sastra Grup di Flickr.

11.20.2010

GAYUS DAN HATI

sumber foto dari internet.

Melihat Gayus bisa lolos seperti melihat diri kita sendiri. Bagaimana ia bisa menyuap polisi, bagaimana ia bisa melenggang bebas sementara dirinya ketahuan melakukan banyak kesalahan, tidak ada bedanya seperti saat kita berbuat salah tapi kita anteng-anteng saja berkeliaran seperti tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa. Bahkan kita dengan mudah lari dari kesalahan dan bersembunyi dengan segala cara. Dengan kata lain kita juga pernah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Gayus. Tentunya dengan tingkatan yang berbeda. Jika gayus bisa menyuap aparat yang menjaganya di penjara, kita mungkin menyuap polisi saat kena tilang. Berbeda tapi tak sama. Atau mungkin sama tapi berbeda.
Fenomena Gayus di akhir tahun 2010 ini menunjukan bahwa hingga tahun ke 10 abad millennium ini, Bangsa ini belum berubah. Jelasnya, orang-orang di negeri ini belum mau berubah. Kita belum mau menengok ke masa lalu, belum mau belajar dari pengalaman atau menjadikan pengalaman di belakang sebagai kaca untuk bercermin. Kita justru asyik cuap-cuap di media sambil mengomentari kelakuan orang, mencemooh orang, memberi nasehat pada orang, atau mungkin mencari-cari kesalahan orang lain untuk dijadikan kambing hitam. Mata kita seperti mata dewa yang bisa melihat dunia ini secara utuh, tahu mana yang salah dan mana yang benar, sedangkan orang lain tidak. Ini seperti sebuah ungkapan seorang filosof terkenal, “aku berpikir maka aku ada”, dan orang lain di sekitar kita “tidak ada”. Bisa dibayangkan jika ada lebih dari satu orang yang berpikir maka akan terjadi perang antar “aku” dari pribadi yang berpikir. Kacaunya lagi, ketika si “aku yang berpikir” mendapat kursi kedudukan atau harta berlimpah maka “si aku” pun berubah jadi bertindak semena-mena.
Para ahli thoriqoh dan ahli sufi berpendapat bahwa proses berpikir itu tidak dilakukan oleh kepala, melainkan oleh “hati”, sebab otak tidak pernah bisa memberikan rasangan berpikir seperti yang dilakukan oleh hati. Itu sebabnya Bimbo berkata bahwa hati adalah cermin, tempat pahala dan dosa berpadu. Sebab di dalam hati ada filter atau energy dorong untuk melakukan yang benar dan menjauhi yang salah. Ketika hati hendak melakukan yang salah, maka hati berpikir dan menimbang untuk melakukannya atau tidak, rangsangan ini disampaikan ke kepala dan diwujudkan dalam bentuk tindakan ke seluruh anggota badan untuk melakukan atau tidak melakukan kesalahan itu. ketika hati terus-menerus mengiyakan pemikiran yang salah, maka hati orang tersebut akan gelap dan orang tersebut cenderung melakukan kesalahan dan juga kejahatan. Singkat kata “hati yang berpikir”.
Tetapi orang eropa dengan penelitiannya mengelabui kita bahwa berpikir itu pasti menggunakan otak yang ada di kepala. Itu sebabnya ketika kita mengatai seseorang bodoh atau bego, kita selalu menunjuk ke arah kepala orang itu. Kita tidak pernah menunjuk hati mereka yang tidak bisa berpikir dan menimbang mana yang salah dan mana yang benar. Ketika Gayus keluar dari penjara, orang-orang yang melakukan kesalahan juga kita tunjuk kepalanya karena mereka “nekad makan uang suap”, kita tidak menunjuk hati mereka. Padahal di hati mereka itulah mereka menyembunyikan segala perbuatan busuk mereka. Sama seperti kita, di hati kitalah kita menyimpan banyak keburukan, karena itulah kita juga mungkin merasa lebih aman ketika kepala kita yang ditunjuk orang saat kita melakukan kesalahan, bukan hati kita. Karena dengan ditunjuknya kepala kita, secara tidak langsung kita bisa menyembunyikan kebusukan yang ada di hati kita. (Renungan. Redaksi Salon Sastra).