Ayo gabung! Poskan karya anda ke salonsastra@yahoo.com atau salonsastra@gmail.com. Karya anda bisa berbentuk puisi, prosa atau renungan (maks. 1 hal quarto), dalam bentuk teks, audio maupun video. Kunjungi juga Obrolan Sastra Salonsastra di Facebook dan Salon Sastra Grup di Flickr.

10.15.2010

Aku Berkata Tadi Malam

Aku berkata tadi malam : istriku, aku kehilangan pekerjaan, kepala pusing, kening mumet, otak nyer-nyeran, perut terasa mag, nafas sesak dan dadaku dag-dig-dug mau meledak. Meski Tuhan telah berkali-kali berkata bahwa sesudah susah ada senang, tapi aku masih khawatir tidak bisa membeli susu. Aku ini sudah tidak pernah menadahkan tangan pada manusia. Ketika manusia menolakku, tak ada upayaku untuk membuat mereka berpaling, sebab hidupku bukan untuk manusia. Matiku juga bukan untuk manusia. Maka rejekiku juga bukan kudapat dari manusia. Namun aku masih ketakutan ketika Tuhan mempersempit rejekiku.
Aku berkata tadi malam, saban hari aku menanti sebuah perubahan, aku tidak tahu apakah penantian ini salah, atau aku yang tidak mau berubah, sebab berubah tidak perlu penantian, penantian juga tidak memerlukan perubahan. Tetapi tidak satupun kekuasaan Tuhan bisa kita lihat kalau kita tidak melakukan penantian, maka aku menanti hingga tuhan menjatuhkan ketetapan demi ketetapan dan melihat betapa diriku sudah tidak berdaya apa-apa tanpa kuasaNya. Ini bukan kepasrahan, istriku. Ini adalah penyerahan diri. Ketika engkau percaya bahwa Dia ada, maka kau harus menyerahkan diri, tapi kau tidak boleh pasrah. Karena itulah sambil menanti akupun terus berusaha. Maka tidak ada lagi penantian itu. Yang ada hanyalah “penantian”.
Hidupku ini hanya sekali lewat. Maka cita-citaku semakin hari semakin tinggi melebihi puncak langit. Meski tobatku baru dua raka’at dan sujudku masih sebatas kening. Tapi tanganku terus berusaha mencakar naik ke atas.
Hidup ini sudah ketahuan ujungnya, istriku. Aku berkali-kali melihat betapa dekat kematian itu denganku. Aku berkali-kali melihat ujung-ujung pintu kematian dibuka dengan sangat mengejutkan. Tidak ada seorangpun yang tidak terkejut menghadapi kematian. Termasuk aku. Tapi keletihan setelah bekerja membuat aku lebih ingat pada ranjang tempat tidurku, atau hangatnya pelukan istri.    
Aku berkata tadi malam : aku telah berhenti dan berkata diam. Awalnya adalah kesendirian. Akhirnya juga kesendirian. Lahir kita yag menangis. Mati kita yang ditangisi. Apalagi yag harus kukatakan. Engkau lebih senang mendengar aku bawa uang banyak kalau pulang. Itulah yang ingin aku tegaskan padamu. Aku sudah berhenti bekerja. Dan kini kepalaku terasa sakit sebelah.

sadie good, 16 oktober 2010

Syair Hilang Zaman

Ustadz bilang bosan…
Hakim bilang bosan…
Polisi bilang bosan…
Penjahat pun bilang bosan…
Tukang sapu jalanan bilang bosan…
Direktur juga bilang bosan…
Para pejabat juga bilang bosan…
Penyair pun bilang bosan…
Semuanya bilang bosan
Melihat kejahatan berkeliaran dari ranjang bayi hingga ranjang hotel
Tapi kejahatan itu terasa makin menyenangkan di ranjang kita.

Mulutmu telah dimakan zaman
Otakmu dikuasai zaman
Matamu untuk zaman
Pendengaranmu hanya tentang zaman
Cintamu cuma kepada zaman
Syairmu kehilangan zaman
Karena kejahatan telah menelusup ke meja sekolah hingga meja parlemen
Tuhan sepertinya sudah tidak ada
Tak ada lagi yang menyenangkan selain mereguk anggur zaman.

The Sadie Good on 5 October 2010