Ayo gabung! Poskan karya anda ke salonsastra@yahoo.com atau salonsastra@gmail.com. Karya anda bisa berbentuk puisi, prosa atau renungan (maks. 1 hal quarto), dalam bentuk teks, audio maupun video. Kunjungi juga Obrolan Sastra Salonsastra di Facebook dan Salon Sastra Grup di Flickr.

12.24.2010

Tiga Puluh Menit ke Kiri

karya Pringadi Abdi Surya
sumber foto : http://www.artserver.nl/

Tiga puluh menit ke kiri, jalan-jalan yang nampak tidur kemudian berdiri. Sisi
Sungai Komering memiliki hikayat api, tanah-tanah gambut, sengketa laki-laki kabut.

Tengah hari ini, matahari mencegat Batanghari---arus dari Utara, membawa
Airmata di punggung seorang pendayung. Ratu bidar, perempuan penenun sampan
Penjahit rumah rakit, perawat hati yang sesak dan penuh meluapkan sesuatu.
Tapi ikan-ikan nampak kelaparan, mata kembungnya seolah mengatakan, “kami
Lebih mulia dari rajawali yang meminta daging sang Gautama!”

Jadilah ia gunting yang memotong helai demi helai rambut sang ratu itu.

Tiga puluh menit ke kiri, di sawah-sawah api. Ia merasa tua sebenarnya, setelah
Ampera, setelah jembatan musi dua, setelah dahan-dahan kelapa yang memberi arah
Kepulangan. “O, aku pahit lidah, boleh aku membuat diriku jadi batu?”

Tapi siang itu adalah separuh gunjungan rumput yang bergoyang. Dan separuh sisanya
Tertinggal di jejak bulan yang lindap, menemani kelinci-kelinci yang kehilangan savana.

Mungkin saja kita cuma legenda, diceritakan sebelum tidur di bangku-bangku sekolah
Dasar di buku-buku usang di perpustakaan. Yang sesekali bila sial, akan ada anak nakal
Mengambil tangga memanjat ke tempat paling tinggi. Lalu menemukanku yang terhenti
Di sejumlah halaman-halaman paling lusuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar