Ayo gabung! Poskan karya anda ke salonsastra@yahoo.com atau salonsastra@gmail.com. Karya anda bisa berbentuk puisi, prosa atau renungan (maks. 1 hal quarto), dalam bentuk teks, audio maupun video. Kunjungi juga Obrolan Sastra Salonsastra di Facebook dan Salon Sastra Grup di Flickr.

10.21.2010

Celoteh di Siang Bolong

picture : http://www.picasaweb.google.com/

Tiang-tiang kebenaran itu begitu kokoh, tinggi dan angkuh

Begitu kokohnya hingga terkesan seram
Siapakah pemberani yang berani menghampirinya?
Orang gilakah?
Mungkin

Kebenaran bagaikan barang suci yang tak tersentuh
Kebenaran hanya untuk orang-orang yang katanya ‘suci’
Kebenaran bukanlah  untuk pelacur, pendosa, pedangdut erotis atau anak nakal yang rajin bertanya
Kebenaran hanya untuk orang-orang bertopeng emas

Lalu siapa sebenarnya pemilik dan pengemban kebenaran?
Barangkali pemiliknya adalah Tuhan kalau orang percaya pada imagi Tuhan

Namun manusia-manusia bertopeng itu telah mengambil alih kebijaksanaan Tuhan
Merekakah wakil Tuhan?
Atau mereka telah berani menganggap diri Tuhan dengan menyebut kalimat-kalimatnya
Aneh…kok ada Tuhan manusia berkepala hitam, putih, coklat atau keriting

Dan kebenaran tidak menyapaku walaupun aku sudah berusaha menceburkan diri dengannya
Aku bukan kategori pelacur, pezina atau icon rusak lainnya yang telah dihakimi peradaban mayoritas
Lalu kenapa aku ini, yang selalu dipandang salah, bodoh atau menuju kekafiran?
Atau mungkin di luar kesadaranku aku termasuk dalam icon rusak
Aku tidak tahu

Wah…..mengerikan

Setelah aku bertanya nakal, ternyata kebenaran itu relatif, tergantung kaca mata
Ini lebih membingungkan
Atau seperti kata orang-orang bahwa kebenaran dan rasionalitas itu musti dibenturkan
Atau seperti kata penentangnya bahwa kebenaran itu tidak perlu dibentur-benturkan
Hingga yang ada adalah pluralisme sebagai kenyataan

Ah…semuanya juga pendapat saja, siapapun boleh bicara
Termasuk mbah Wagirin, pakde Lasio atau mbokde Sainah
Tidak hanya yang bernama mentereng macam Descartes atau Illich

Lalu gimana? Bingung to?
Memang, mungkin abad ini adalah abad bingung
Abad olok-olok, bagai sebuah permainan kehidupan materi maupun pikiran
Jadi ya…ayolah saling berolok tapi penuh kasih dan persahabatan
Mungkin dari situ kita akan menemukan kebenaran yang sebenarnya


Tuti, Jakarta, 2 Juni 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar